Satu keluarga korban kasus penembakan Aipda Robig Zaenudin (38) mengajukan perlindungan diri kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Alasannya karena merasa terintimidasi yang diduga dilakukan oleh pihak kepolisian. “Ya, mereka meminta bantuan bisa karena terancam,” jelas Wakil Ketua LPSK Susilaningtias saat dihubungi, Rabu (8/1/2025).
Atas permohonan keluarga korban, Tim dari LPSK sudah diterjunkan ke Kota Semarang. Mereka mendatangi keluarga korban untuk melakukan telaah kasus selama 30 hari kerja tetapi bisa dipercepat atau sebaliknya. “Kami masih dalam proses penelaahan di Kota Semarang, setelah itu kami putuskan, apakah permohonan ini diterima atau tidak,” tutur wanita yang akrab disapa Susi ini.
Menurutnya, permohonan yang diajukan masih berkaitan dengan proses pendampingan seperti saat pemeriksaan di kepolisian, penyidikan, maupun saat di pengadilan. “Kebutuhan itu masih bisa berkembang tergantung kebutuhan dari saksi atau korban yang mengajukan ke LPSK,” ungkapnya.
Susi mengaku, baru satu keluarga korban yang mengajukan diri untuk memperoleh perlindungan. Korban lainnnya, sejauh ini belum berminat. “Kami telah proaktif ke mereka, kami telah datangi, melakukan komunikasi intensif tapi kami melihat mereka masih ragu ragu,” terangnya. Dia menyimpulkan keraguan dari para korban dan saksi lainnya akibat adanya diintervensi pihak lainnya.
“Ya bisa jadi seperti itu (ada intervensi), karena keluarga ragu ragu terus ketika mau mengajukan permohonan,” bebernya. Kendati begitu, dia berharap selepas ada keluarga korban yang meminta bantuan ke lembaganya, para saksi dan korban lainnya bisa melakukan hal serupa. “Selain karena terancam, mereka bisa meminta bantuan LPSK karena ingin mendapatkan hak haknya,” terangnya. Dia mengungkap, para korban yang terluka dari kejadian penembakan sebenarnya berhak mengajukan restitusi atau pengganti kerugian yang dibayarkan pelaku.
Para korban juga berhak mengajukan ke LPSK untuk dibantu pelayanan medisnya, pengobatannya, dan sebagainya. Kasus penembakan polisi terhadap pelajar, kata Susi, sebenarnya mendapatkan perhatian lebih dari lembaganya. Dia sudah menerjunkan tim ke Semarang setidaknya H+1 kejadian. “Kasus ini bisa saja masuk atensi berat ketika ada pengancaman,” terangnya. Selain ada pengancaman, lanjut dia, kasus itu kategori berat ketika ada korban luka dan kondisi psikologis yang harus segera dilakukan pemulihan.
Kemudian ada upaya perlawanan dari pelaku semisal adanya obstruction of juctice tindakan yang menghalangi atau merintangi proses hukum atau penegakan hukum di antaranya dengan menghilangkan barang bukti, mengubah tempat kejadian perkara, para saksi serta korban dilaporkan balik, dan lainnya. “Kalau dari yang nampak sih belum ada perlawanan itu. Kami masih mendalami dan menelaah lebih jauh lagi,” bebernya. Sementara, Pengacara publik dari LBH Semarang, Fajar Muhammad Andhika mengatakan, keluarga salah satu korban memang mengajukan perlindungan ke LPSK.
Mereka mengajukan diri karena mendapatkan intervensi diduga oleh anggota intelijen kepolisian. Intervensi berupa keluarga melihat beberapa orang tak dikenal lalu lalang di sekitar rumah lalu mengambil video dan foto di sekitar rumah. “Nah itu yang kemudian membuat keluarga korban tidak nyaman dari tindakan orang orang yang tidak dikenal itu,” katanya.
Menurutnya, tindakan itu diduga dilakukan oleh aparat kepolisian sehingga pihaknya sangat menyayangkan karena hak atas kenyamanan adalah hak asasi manusia. “Aparat kepolisian tidak diperbolehkan melakukan tindakan tindakan lain yang membuat keluarga korban merasa tidak nyaman di luar prosedur hukum,” paparnya.